Rabu, 24 Oktober 2012

STRATEGI MEMECAH PASAR


Berbisnis selalu membutuhkan kecerdasan, kecerdikan, dan kejelian yang ekstra. Kalimat ini menjadi bermakna kalau kita memperhatikan formula para pebisnis dalam menyiasati kompetisi bisnis yang ketat.
Produsen mobil Toyota sekian tahun silam melihat pasar Kijang di Indonesia amat besar. Bertahun-tahun, Kijang berlari tanpa rival berarti. Menariknya, Toyota tidak lengah dengan situasi ini. Kualitas Kijang terus dinaikkan, dengan perubahan minor secara berkelanjutan. Ini yang membuat Toyota Kijang sulit disaingi produsen lain. Bahkan Isuzu Panther yang sejak dekade 90 an digadang-gadang sebagai rival terberat Toyota Kijang dalam pasar mobil penumpang pada masa itu kini tak mampu lagi mengejar dan mematahkan dominasi Toyota Kijang di segmen medium MPV.
Sukses dengan Kijang, menginspirasi Toyota melihat sisi lain, yakni pasar satu kelas di bawah Kijang juga amat besar. Kalau digarap, itu akan menghasilkan perolehan yang dahsyat.
Lalu, diluncurkanlah produk baru bernama Avanza. Kualitas tetap terjaga, tetapi harga bersaing. Avanza segera merajai pasar di kelasnya. Hal mengesankan dan ini layak jadi kajian, tidak semua warga membeli Avanza karena harga lebih murah. Banyak yang membeli Avanza karena fisiknya lebih kecil dibandingkan dengan Kijang, irit, terkesan bersahaja, resale value tinggi, dan nama besar Toyota di kancah otomotif tanah air. Strategi Toyota ini kerap disebut taktik memecah pasar untuk merengkuh pasar lebih luas; kelas bawah, kelas atas, dan kelas lebih atas lagi.
Tidak hanya Toyota yang langkas menjalankan strategi ini. Nissan misalnya yang sebelumnya memproduksi Livina dan Grand Livina, juga memproduksi Teana untuk menjangkau kelas atas dan March untuk menjangkau kelas bawah atau kelas entry level. Atau juga Kia tidak hanya datang dengan All New Picanto, tetapi juga Rio dan Sportage Platinum. Kia sukses memecah pasar sehingga menjadi produsen mobil 10 besar di Tanah Air yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Di luar beberapa hal tersebut, taktik memecah pasar ini kerap kali berkaitan pula dengan upaya meraih kinerja dan nama lebih baik. Adakalanya produsen memilih memecah pasar atas dan bawah sebab tidak ingin mendapat label sebagai perusahaan elite dengan harga barang yang mahal.
Lihatlah, misalnya, produsen Sanyo. Merek ini lekat dengan label perusahaan yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari dan relatif murah, misalnya mesin cuci, dan mesin pompa air. Ia tidak menggunakan nama yang satu induk dengannya, yakni Panasonic.
Formula yang sama dilakukan produsen Volkswagen AG yang mempunyai empat merek yang berbeda. Pada awalnya Audi dan Seat mempunyai citra sporty dan VW dan Skoda mempunyai citra kendaraan keluarga. Audi dan VW  berada pada tingkat yang lebih tinggi dan sudah populer dengan mutu dan harga standar kelas atas dibandingkan dengan Seat dan Skoda. Namun, untuk menjangkau pasar lebih luas, terutama kelas di bawah menengah, perusahaan tersebut memproduksi. Sekarang Skoda dan Seat merebut pangsa pasar dan menjadi pemain yang diperhitungkan serta terpandang di kelasnya dengan mesin yang diandalkan yang dipinjam dari VW. Konsumen otomotif eropa yang hemat mungkin meyakinkan diri mereka bahwa sebuh Skoda atau Seat hampir identik dengan VW, dengan harga beberapa ribu Euro lebih murah. Rupanya produsen Skoda dan Seat mempunyai cita rasa tinggi di bidang strategi branding.
Belajar dari aneka formula itu, para pebisnis di Tanah Air tidak perlu takut bersaing di dalam kancah bisnis. Jika mutu terjaga, branding, rasanya tidak ada masalah masuk ke gelanggang yang sangat ramai dengan pebisnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar